Blog ini dimaksudkan untuk dapat menjadi sarana silaturahmi bagi warga desa Sambongbangi kecamatanKradenan, sehingga kami mohon bagi anda yang berkunjung di blog ini untuk dapat meninggalkan komentar disini. blog ini diharapkan juga mampu memberikan sedikit sumbangsih kepada pemerintah desa Sambongbangi kecamatan Kradenan untuk dapat lebih memperkenalkan bermacam potensi, berbagai peluang dan aneka ide yang mungkin bisa didapatkan di desa Sambongbangi kecamatan Kradenan.blog ini di fokuskan berisi tentang segala sesuatu yang ada, dengan artikel tentang Kab.Grobogan dan komputer sebagai pelengkap dan pemanis blog ini.Sambongbangi terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 70 meter di atas permukaan laut.Perbatasan desa sambongbangi:Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Banjardowo dan berdiri bangunan SMPN 3 kradenan yang tepatnya berada di dusun Belungkulon, Di sebelah utara berbatasan dengan desa sengonwetan dan membentang sungai Kedong Macan sepanjang ±35 km, yang menjadi tempat sumber kehidupan . Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Dukuh Banjarbanggi & Dukuh Cangkring,Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ±50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. Di wilayah bagian utara baru terdapat pada kedalaman 10-25 m, makin ke selatan permukaan keras semakin dangkal 8-15 m. Pada bagian tertentu juga terdapat lapisan permukaan tanah yang keras dengan kedalaman 40 m. Keadaan Desa Sambongbangi umumnya beriklim panas dengan suhu udara maksimum berkisar 32,7 °C - 34,°C pada siang hari, dan suhu udara minimum berkisar 23,8 °C -25,4 °C pada malam hari. Rata-rata curah hujan sepanjang tahun 237,96 mm, selama periode 2002-2006 curah hujan terendah sebesar 122,0 mm terjadi pada tahun 2002 dan tertinggi sebesar 267,4 mm terjadi pada tahun 2005, dengan tingkat kelembaban udara mencapai 73,0 - 78,0 persen dan kecepatan angin rata-rata mencapai 2,2 m/detik - 2,5 m/detik
Pada jaman
dahululu kala Konon tanah jawa ini pernah dikuasai oleh kerajaan Galuh,
dipimpin oleh Prabu Sindulaya Sang Hyang Prabu Watu Gunung, yang berhasil
mengangkat nama Galuh menjadi termasyhur dan rakyatnya hidup makmur. Pusat
pemerintahannya di daerah Jawa Barat.
Prabu Watu Gunung
dikaruniai 4 orang anak : Dyah Ayu Dewi (menjadi ratu di Nusatembini), Pangeran
Adipati Dewata Cengkar, Dewata Pemunah Sakti (menjadi adipati di Madura), dan
yang terakhir adalah Pangeran Adipati Dewata Agung (yang menjadi adipati di
Pulau Bali).
Menurut cerita,
rakyat Galuh tidak senang terhadap putra kedua, yaitu Pangeran Adipati Dewata
Cengkar. Tingkah lakunya yang kasar terhadap rakyat kecil, suka menganiaya
orang, ditambah hobinya berpesta pora, makin menambah kebencian rakyat. Satu
hal lagi, pangeran tergila-gila makan daging manusia. Hal ini menjadikan hidup
rakyat Galuh yang tadinya tenteram, menjadi gelisah dan takut. Akhirnya,
sebagian rakyat mulai mengungsi untuk mencari perlindungan.
Perubahan keadaan
rakyat ini ternyata tercium oleh sang prabu. Setelah beliau mengetahui bahwa
putranyalah penyebab keresahan rakyat sedemikian rupa, maka dengan sangat marah
sang paduka memanggil anaknya. Beliau sangat malu dan tercoreng mukanya. Karena
emosi, beliau mengumpat dengan kasar dan memerintahkan agar Dewata Cengkar
segera merubah sikapnya, kalau tidak harus pergi meninggalkan istana.
Dewata Cengkar tak
berkata apa-apa, hatinya sakit mendengar kata-kata ayahnya, ia lalu bangkit dan
meninggalkan istana tanpa pamit, sambil memandang ayahnya seolah-olah
menantang.
Dalam waktu beberapa
hari, Dewata Cengkar berhasil menghimpun beberapa prajurit istana yang masih
setia padanya untuk ikut meninggalkan kerajaan Galuh. Dengan sembunyi-sembunyi,
mereka menuju timur. Dalam waktu beberapa hari, mereka tiba di suatu tempat di
pegunungan Kendeng, yang berhadapan dengan Teluk Lusi. Melihat lokasi yang bagus
dan strategis ini, Dewata Cengkar lalu membangun satu bangunan sebagai
istananya, lalu mengangkat dirinya menjadi raja dengan sebutan Prabu Dewata
Cengkar.
Untuk membantu urusan
pemerintahan, diangkatlah Aryo Tengger menjadi patih dan Rudo Pekso menjadi
tumenggung. Kerajaan mereka dinamakan Medang Kamolan.
Semakin hari semakin
makmur dan termasyhurlah kerajaan ini. Seiring waktu, rasa dendam Dewata
Cengkar kepada ayahnya pun lenyap sudah, kalau saja tidak termakan rayuan Aryo
Tenggger dan Rudo Pekso. Amarah itu tersulut kembali. Sang prabu sendiri lalu
menghimpun kekuatan untuk menyerbu Galuh.
Saat itu kerajaan
Galuh tidak dalam kondisi siap perang. Sejak kejadian rakyat banyak yang
mengungsi dan kemudian diiukuti rakyat lain dan tidak ada yang mau kembali
lagi, Galuh menjadi kosong dan kekuatan prajuritnya semakin lemah. Ini membuat
sang Prabu Watu Gunung menjadi murung. Pada keadaan seperti itulah sang prabu
mendengar ada serbuan dari kerajaan lain yang ternyata dipimpin oleh anak
kandung yang diusirnya dulu, beliau murka.
”Dasar Dewata Cengkar
tak tahu diri. Kerajaan Galuh ini nantinya akan kuwariskan kepadanya, akan
menjadi miliknya, tapi bukan dengan cara seperti ini.”
Prabu Watu Gunung tak
kuasa melawan nafsu Dewata Cengkar, setelah memperingatkan anaknya, beliau
mesti rela mati dihantam gada Dewata Cengkar.
”Mampus kau keparat!”
teriak Dewata Cengkar. Bersama pukulan itu, timbul cahaya yang sangat
menyilaukan. Prabu Watu Gunung pun menghilang, bersama kerajaan dan rakyat
Galuhnya, lalu berubah menjadi hutan belantara. Dari dalam hutan, terdengar
suara Watu Gunung mengutuk putranya: ”Dewata Cengkar, semua sudah terlanjur.
Dengan sifat-sifatmu yang seperti binatang itu, nantinya akan menjadi
kenyataan.”
Dewata Cengkar sempat
was-was mendengarnya, takut menjadi kenyataan. Namun Aryo Tengger dan Rudo
Pekso segera mengalihkan perasaan sang prabu dengan menyanjungnya atas
kemenangan ini. Prajurit bersorak sorai pulang ke Medang Kamolan. Mereka
merencanakan pesta pora.
Rakyat bersiap-siap
menyambut kedatangan para prajurit dan rajanya dari medan perang. Umbul-umbul
berwarna-warni dipasang di sepanjang jalan, rumah-rumah dihias. Para wanita
bertugas menyiapkan makanan. Penari-penari bersiap untuk manggung.
Di dapur, saking
bersemangatnya, seorang wanita terpotong jari kelingkingnya. Dia segera berlari
ke kamar untuk mengambil obat, tapi alangkah kagetnya ia ketika kembali ke
dapur, kelingkingnya sudah tidak ada, ikut teriris-iris dan masuk ke dalam
panci masakan. Tidak mungkin baginya mencari kelingkingnya diantara daging yang
sudah masak semua.
Pesta berlangsung
sangat meriah. Sang prabu mengundang semua rakyat untuk memakan semua hidangan.
Penari-penari bekerja semalam suntuk untuk menghibur sang prabu dan
prajurit-prajuritnya.
Setelah pesta usai,
sang prabu memanggil Aryo Tengger, sang patih.
”Tih..patih..coba
kamu kesini sebentar..”
”Daulat paduka, ada
apa gerangan, apakah patih diperlukan?”
”Ya ya ya..sini
cepat, dengarkan kata-kataku, tapi jangan salah paham dulu. Ini penting,dan
sifatnya rahasia.”
”Baik paduka, patih
akan merahasiakan.”
”Sekarang aku tanya
kepadamu, daging apa yang paling kamu senangi?”
”Daging sapi paduka.”
”Bodoh Patih...daging
paling enak itu ya daging manusia. Semasa di kerajaan Galuh aku sering makan
daging manusia, sampai aku dimarahi dan diusir ayahku. Setelah disini, aku tak
pernah lagi akan daging manusia sampai aku hampir lupa rasanya, seandainya
tidak merasakannya saat pesta tadi.”
“Apakah ada daging
manusia dihidangkan paduka?”
”Ada, tapi tidak
sengaja. Mungkin ada juru masak jarinya terpotong lalu tercampur bersama
makanan.”
”Gila, mampus
nanti dia kalau tertangkap.”
”Jangan ganggu
dia, justru dengan jari kelingking itu gairahku bertambah hidup. Nantinya ada
pekerjaan baru buatmu, Tih.”
”Pekerjaan apa
paduka?’
”Mulai besok kamu
harus dapat memperoleh korban manusia yang dagingnya dimasak untukku.”
Patih Aryo Tengger
bak tersambar petir mendengarnya. Tapi mau tak mau ia harus melaksanakannya.
Awal yang tak disengaja itu akhirnya menjadi bencana bagi rakyat Medang
Kamolan. Korban pertama, patih mengambil narapidana dari penjara, sampai
akhirnya seluruh isi penjara habis. Lalu beralih mencari pemuda desa. Banyak
pemuda yang keluar malam hari menghilang secara misterius.
Namun, serapat-rapat
orang menyimpan bangkai akhirnya tercium juga. Rakyat akhirnya lari
meninggalkan kerajaan. Patih mulai bingung mencari korban, apalagi akhir-akhir
ini sang prabu mulai minta yang aneh-aneh. Karena biasanya mendapat pemuda,
kali ini sang prabu minta daging wanita muda. Patih bingung karena tak ada lagi
wanita muda yang masih tinggal disana. Semua telah pergi. Sampai akhirnya
terdengar kabar bahwa di rumah Kaki Grenteng masih hidup seorang gadis muda
yang bisa dijadikan korban. Patih memerintahkan seluruh anak buahnya untuk
mengepung rumah Kaki Grenteng.
Ajisaka dan Buaya Putih
Tak disebutkan
darimana asal Ajisaka. Tapi dia adalah seorang ilmuwan yang bermaksud akan
menyebarkan agama ke Medang Kamolan, ditemani dua temannya, Dora dan Sembada.
Dengan menggunakan
perahu mereka menuju negeri yang makmur itu, hingga tiba di tempat pemberhentian
pertama, Nusa Majedi, yang sekarang bernama Bawean. Dari situ Ajisaka
menyiapkan peralatan dan perbekalan. Dia memutuskan akan melanjutkan perjalanan
bersama Dora, sedangkan Sembada ditugaskan tinggal di Nusa Majedi untuk
sementara waktu, sambil menjaga barang-barang mereka. Keris pusaka
ditinggalkannya bersama Sembada dengan pesan agar tidak memberikannya kepada
siapapun, kecuali Ajisaka sendiri yang meminta. Sembada menerima tugas tersebut
dengan patuh dan ikhlas.
Melewati samudera, gunung
dan hutan belantarra, Sembada dan Dora mulai memasuki Medang Kamolan. Namun
betapa terkejutnya mereka ketika bertemu rombongan penduduk Medang Kamolan yang
bergegas keluar perbatasan. Para penduduk enggan menjawab ketika ditanya, malah
terlihat takut, seakan-akan diancam dari belakang. Kecurigaan mereka makin
bertambah ketika melewati beberapa desa yang kosong tak berpenghuni. Kalaupun
ada, tinggal orang-orang lanjut usia.
Sampai akhirnya
mereka tiba di sebuah rumah yang asri berhalaman luas. Mereka mengetuk pintu
dan disambut dengan penuh curiga oleh Kaki Grenteng, sang pemilik rumah.
Setelah mengetahui bahwa mereka hanyalah orang asing, Kaki Grenteng
mempersilakan mereka masuk. Singkat cerita, mereka menjadi paham mengapa rakyat
pada mengungsi keluar.
Kaki Grenteng lalu
menceritakan kekuatirannya karena di rumahnya terdapat seorang gadis bernama
Roro Cangkek. Pasti saat ini dia sedang diburu patih Aryo Tengger untuk menjadi
santapan sang prabu.
Puas mendengar cerita
dan menyantap makanan dan minuman yang dihidangkan, Ajisaka minta ijin untuk
buang hajat. Saat menuju ke belakang, dia berpapasan dengan Roro Cangkek yang
juga sangat kaget dan malu melihatnya karena sebagian pakaiannya terbuka. Roro
Cangkek lalu lari ke dalam kamar, sedangkan Ajisaka yang masih tak habis pikir
melihat ada bidadari di kampung terpencil seperti ini, lalu menyelesaikan
urusannya.
Ternyata, saat
Ajisaka membuang hajat itu, datang seekor ayam jago yang sedang kehausan, lalu
meminum air seninya. Tak disangka, ayam jago itu lalu bersikap aneh,
melonjak-lonjak kegirangan dan berkokok seperti ayam betina yang akan bertelur.
Roro Cangkek yang mellihat keanehan tersebut lalu mendekati ayam jago itu,
menggendongnya, membelainya dan membawanya ke lumbung padi.
Saat itu pula,
ternyata pasukan patih Aryo Tengger telah mengepung rumah kaki Grenteng. Ia
diperintahkan untuk segera menyerahkan Roro Cangkek. Akhirnya, dengan paksa
mereka menggotong Roro Cangkek dari kamarnya. Kaki Grenteng dan istrinya yang
sudah tua tak bisa berbuat apa-apa, mereka pingsan dipukuli oleh anak buah
patih, sementara Ajisaka dan Dora didorong ke sudut agar menjauh namun tak
disakiti karena mereka orang asing.
Roro Cangkek
berteriak dengan memilukan. Ajisaka lalu menghadang para punggawa yang membawa
Roro Cangkek, lalu mengatakan bahwa wanita itu mengidap suatu penyakit
berbahaya yang sangat menular, bahkan dari hembusan nafasnya. Ajisaka lalu
menawarkan dirinya sebagai pengganti Roro Cangkek untuk menjadi korban sang
prabu.
Roro Cangkek memeluk
kaki Ajisaka, tapi akhirnya Ajisaka pergi juga. Roro Cangkek hatinya hancur.
Menghadap prabu
Dewata Cengkar, Ajisaka dan Dora terlibat percakapan serius sebelum akhirnya
hidup mereka berakhir menjadi santapan sang prabu. Sang prabu rupanya bersedia
memenuhi 1 permintaan terakhir Ajisaka sebelum beliau memakannya. Ajisaka hanya
minta sepetak tanah di alun-alun Medang Kamolan, seluas sorban di kepalanya.
Sang prabu segera memenuhinya. Permintaan kecil, pikirnya.
Dengan disaksikan
patih, tumenggung dan seluruh rakyat, Ajisaka membuka sorbannya, memegang ujung
utara, dan sang prabu memegang ujung selatan. Mereka mulai mengukur, namun
sorban tersebut malah semakin panjang dan panjang, tidak habis-habis
gulungannya. Sang prabu mulai kelelahan dan malu dilihat rakyatnya, lalu
menyerah kepada Ajisaka. Saat itu posisi beliau sudah di tebing laut yang
curam. Beliau bersedia menyerahkan kerajaan asalkan dibiarkan hidup. Rakyat
tidak mau, mereka sudah cukup menderita karena perbuatan sang prabu dan meminta
Ajisaka segera membunuhnya. Dengan memohon kepada Yang Maha Pencipta, Ajisaka
mengibaskan sorbannya. Tubuh Dewata Cengkar terpental hingga ke tengah samudra,
hilang dibawa ombak. Setelah itu muncul seekor buaya putih dengan mulut
menganga seolah kelaparan. Buaya ini mengutuk Ajisaka dan bersumpah akan
memangsa semua keturunannya yang lengah di samudera.
Rakyat menyambut
gembira dan mengangkat sang dewa penolong menjadi raja Medang Kamolan. Sang
patih dan tumenggung ditangkap rakyat lalu dilemparkan ke samudera agar
berkumpul bersama tuannya.
Lahirnya Huruf Jawa dan Bledug Kuwu
Menjadi raja yang
disenangi rakyat, memiliki kerajaan yang makmur dan hidup serba berkecukupan,
tak menjadikan Ajisaka melupakan sahabatnya Sembada, yang dulu ditinggalkannya
di Nusa Majedi. Sang prabu lalu memerintahkan Dora untuk menjemput Sembada,
juga keris pusaka yang dititipkannya dulu, untuk senjatanya sebagai raja.
Dora berangkat ke
Nusa Majedi, tapi tak berhasil membujuk Sembada untuk ikut dengannya. Sembada
masih ingat petuah Ajisaka dulu untuk tidak menyerahkan keris pusaka tersebut
kepada siapapun, kecuali Ajisaka sendiri yang mengambilnya.
Mereka lalu terlibat
perkelahian sengit, dan keduanya mati.
Sang prabu sangat
sedih mendengarnya. Dalam dukanya, ia mulai menulis prasasti untuk mengenang
kedua sahabatnya itu, bertuliskan gabungan antara huruf Palawa dan huruf
Dewanegari. Huruf-huruf tersebut lalu dikenal dengan huruf Jawa :
Ha Na Ca Ra Ka =
Ada utusan
Da Ta Sa Wa La =
Saling bertengkar
Pa Da Ja Ya Nya =
Sama-sama digdaya
Ma Ga Ba Tha Nga =
Sama jadi mayatnya
Sementara itu, di
rumah Kaki Grenteng.
Ayam jago yang dulu dikurung di gudang
jerami kini telah bertelur. Bentuk telurnya berbeda dan tidak juga menetas pada
waktunya seperti halnya ayam kampung. Hanya, lumbung padi mereka tidak pernah
kosong, selalu terisi penuh. Hal ini membuat Kaki Grenteng dan istrinya curiga,
lalu mereka membongkar tumpukan padi itu, dan tiba-tiba mundur ketakutan.
Seekor ular berkepala besar muncul, dan dapat berbicara. Dia minta bertemu
dengan Roro Cangkek, yang diakunya sebagai ibunya.
Roro Cangkek melihat ada kemiripan antara
ular tersebut dengan Ajisaka, ditambah lagi dari penjelasan sang ular bahwa
dirinya berasal dari telur seekor ayam jago yang meminum air seni Ajisaka. Sang
ular meminta ijin pada ibunda Roro Congkek untuk mencari ayahnya. Oleh Roro
Cangkek lalu diarahkan ke kerajaan Medang Kamolan, dimana sang prabu Ajisaka
bertahta.
Sang ular pun
bergerak menuju arah yang ditunjuk ibunya. Badannya yang demikian besar
menyebabkan rumah penduduk dan hutan banyak yang rusak. Rakyat ketakutan.
Pengawal istana bersiap siaga, apalagi setelah mendengar ular itu bermaksud
ingin bertemu raja.
Prabu Ajisaka tak
begitu saja percaya bahwa ular itu adalah anaknya, tetapi setelah mendengar
ceritanya, beliau pun sadar bahwa ular itu benar. Tapi, untuk mengujinya, beliau
menugaskan sang ular untuk membunuh seekor buaya putih di Samodra Kidul (Laut
Selatan), lalu membawa pulang kepalanya. Jalan pulang ke Medang Kamolan harus
melewati dasar bumi.
Sang ular
melaksanakan tugas tersebut dengan mudahnya. Setelah menelan kepala buaya putih
untuk diperlihatkan kepada sang prabu, ia lalu menerobos tebing di pinggir
pantai, untuk terus menuju ke timur, ke Medang Kamolan.
Karena tidak yakin
arah yang benar, ia naik sebentar ke permukaan, dan tiba di desa Jono,
kecamatan Tawangharjo. Hingga saat ini, daerah terebut terkenal dengan
penghasil ’bleng’, yaitu sejenis cairan untuk campuran membuat kerupuk, yang
dapat diproses menjadi garam dapur.
Kedua kalinya ia
muncul ke permukaan yaitu di daerah Crewek, tetapi ternyata perjalanan masih
cukup jauh.
Lalu, untuk ketiga
kalinya, dengan tak sabar ia memusatkan seluruh kekuatannya untuk mengeluarkan
badannya dari dasar bumi. Saking besarnya tubuh sang ular raksasa, sampai
mengeluarkan suara BLEDUG...BLEDUG... Ia tiba di desa Kuwu, Kecamatan Grobogan.
Tetapi tenaganya sudah habis, dan akhirnya ia lumpuh. Saat itu ia menjelma
menjadi seorang anak kecil. Seorang dukun menemukannya dan menyembuhkannya dari
penyakit lumpuh. Sang dukun menanyakan asal dan tujuan si anak, tetapi ia tak
dapat menjawab. Akhirnya ia dikenal dengan nama Joko Linglung.